Al-Ghazali merupakan sosok yang multi-knowledge, mulai dari syari’ah, akhlak tasawuf hingga persoalan pendidikan. Abu Hamid al-Ghazali (450-505 AH/1058-1111 AD) alias: al-Ghazzali (Algazel) adalah salah satu pakar hukum, pakar doktrin-Islam (akidah) dan Sufi dari abad 12M. Ia mengarang topik-topik dengan cakupan yang luas meliputi hukum (fikih), doktrin-Islam (akidah), spiritualitas-Islam (tasawuf) dan filsafat. Pendidikan sufistik sebenarnya bagian dari tawaran al-Ghozali untuk membangun pola pikir dan pola dzikir yang berinteraksi secara sinergik dalam filsafat pendidikan Islam. Hal ini berimplikasi pada penyelesaian masalah pendidikan, yakni dengan menyeimbangkan antara aspek spiritual dengan intelektual, kebenaran dan kebergunaan.”
Pendidikan sufistik yang ditawarkan al-Ghazali memiliki arah utama yakni mentauhidkan Allah Ta’ala dengan jalan menghilangkan semua unsur dan ikatan keduniaan dari hati seorang salik (orang yang menempuh jalan sufi). Pendidikan sufi menurut al-Ghazali adalah memperkuat keimanan dengan ketauhidan dan menghilangkan unsur duniawi. Bagi al-Ghazali, yang terpenting bukan penguasaan terhadap ilmu tetapi lebih kepada rasa dan mengamalkan ketauhidan. Metode yang digunakan dengan metode guruisme (teacher centered learning), beliau meniru cara nabi Khidir ketika mendidik Musa a.s. dihadapan guru, seorang salik tidak berhak bertanya dan mendebat sang guru, sebab guru dianggap sebagai orang yang paling tahu berbagai rahasia realitas ketuhanan dan dapat membimbing dirinya bertemu Tuhan.
Model pendidikan sufi yang ditawarkan al-Ghazali tersebut memiliki sisi positif dan negative bagi dunia pendidikan Islam. Segi negatifnya, model tersebut jelas sangat mematikan potensi kreatifitas murid. Metode tersebut juga mematikan etos kerja dan keilmuan umat Islam. Dan segi positifnya, pendidikan sufi lebih berorientasi pada aspek afektif yang sangat diperlukan dalam mengatasi krisis di dunia pendidikan Islam yang cenderung menggembleng aspek rasio dari pada aspek rasa. Sumbangan pemikiran al-Ghazali mengenai pendidikan tersebut pada sisi positifnya dapat dijadikan alternative dalam menjawab persoalan pendidikan sekarang ini yang mulai menjauh dari hakekat daripada ilmu.
Profesi al-Ghazali sebagai ahli pendidikan kurang mendapat perhatian dari para tokoh pendidikan muslim abad ke-20, sangat menyesalkan kehadiran al-Ghazali dalam dunia Islam. Penyesalan itu diungkapkan dalam kata-katanya. Al-Ghazali telah menyembelih dunianya sendiri, seperti orang menyembelih ayamnya yang akan bertelurkan emas. Lebih baik kitabnya al-Ghazali tidak muncul di dunia Islam, dan sebaiknya dilahirkan dalam dunia Kristen katholik atau dimana saja di luar Islam”
Setelah terbitnya karya al-Ghazali Tahafut-al-Falasifah (karancuan Para Filosof), terjadi stagnasi pemikiran dalam Islam karena hal itu, dihadapan al-Ahwani, Al-Ghazali tidak ada harganya sama sekali walaupun ia telah banyak memberikan sumbangan pemikiran yang besar dalam dunia Islam. selang beberapa waktu sepeninggal al-Ghazali muncul filosof Islam seperti al-Thus (1260), Ibnu Rusyd, Ibnu Taimiyah, Ibnu Khaldun. Sehingga tampak bahwa penyesalan mereka mengenai karya al-Ghazali Tahafut-al-Falasifah yang disesalkan justru menjadi semangat berfikir generasi sesudahnya. Karya al-Ghazali Tahafut-al-Falasifah (karancuan Para Filosof) justru menjadi pembakar semangat generasi berikutnya. Karena karya tersebut sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut seperti yang telah dijelasakan bahwa dengan karya al-Ghazali tersebut justru muncul para pemikir-pemikir hebat dan pemikiran mereka dapat kita nikmati sampai sekrang ini.
Paradigma al-Ghazali berdasarkan atas dan sejalan dengan firman-firman Allah yang telah memberikan banyak aturan kehidupan sehingga dapat mengantarkan manusia menjadi khalifatullah yakni manusia yang sempurna yang mampu berkomunikasi aktif, baik dengan Tuhan sebagai pencipta maupun dengan makhluk lain sebagai ciptaan-Nya. Persoalan pendidikan pada saat ini terasa kurang mengarah kepada pembentukan insan kamil. Pendidikan kurang menekankan adanya keseimbangan antara aspek spiritual dengan intelektual, antara kebenaran dan kegunaaan dalam diri manusia itu sendiri. Sehingga produk pendidikan saat ini bukan lagi manusia utuh yang layak sebagai khalifah di bumi. Melainkan manusia-manusia yang individualistis, matrealistis, dan pragmatis. Dan akibatnya, yang kuat menindas yang lemah, dan yang berwenang bertindak sewenang-wenang, dan yang berkuasa bertingkah tanpa mengingat dosa dan siksa. Penyebab utama dari kisruhnya pendidikan ini adalah adanya sekularisme yang dengan sengaja masuk melalui sains moderen dimasukkan kedalam sistem pendidikan, yang oleh sosiolog moderen paham ini diartikan sebagai ”pembebasan manusia” dari sikap religius.
Al-Ghazali berusaha menyelesaikan permasalahan tersebut dengan menyeimbangkan aspek spiritual dengan intelektual, kebenaran dan kegunaan. karena jalan utama untuk merubah masyarakat menjadi lebih baik adalah melalui pendidikan. Pemikiran al-Ghazali tentang pendidikan terdapat pada karya-karyanya. Yang terutama pada karyanya Ihya’ Ulum al-Din. Menurut Al Ghazali, puncak kesempurnaan manusia ialah seimbangnya peran akal dan hati dalam membina ruh manusia. Jadi sasaran inti dari pendidikan adalah kesempurnaan akhlak manusia, dengan membina ruhnya. Hal ini berlandaskan pada firman Allah SWT, "Sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar mempunyai akhlak yang sangat agung". (QS. 68 : 4). Dan sabda Rasul saw: Innama bu'itstu liutammima makarimal akhlak. Dan komponen pendukung sempurnanya insan ialah keseimbangan antara daya intelektual (kognitif), daya emosi, dan daya nafs, oleh daya penyeimbang. Al-Ghazali memberikan tamsil dengan menjelaskan orang yang menggunakan akalnya yang berlebih-lebihan tentu akan akal-akalan, sedang yang 'menganggurkannya' akan jahil. Jadi pendidikan dikatakan sukses membidik sasaran sekiranya mampu mencetak manusia yang berakhlakul karimah.
Sejak kecil, al-Ghazali sudah tertarik pada ilmu pengetahuan. pada saat intelektualnya sedang berkembang ia tertarik pada masalah-masalah yang esensial. Kehausannya akan ilmu pengetahuan yang tidak kenalpun tampak dalam hasil kajiannya terhadap kebenaran rasio. Kebenaran rasio membatalkan kebenaran sensual, kebenaran yang berdasarkan indrawi, itupun belum memuaskan usaha dan kehausan intelektualnya, sehingga sampai pada pernyataan bahwa kebenaran yang hakiki tidaklah dapat dicapai melalui perangkat argumentasi maupun struktur pembicaraan, akan tetapi melalui pancaran nur Ilahi. Dan selanjutnya nur Ilahi ini yang harus dijadikan pedoman hidup manusia dan ini dijadikan al-Ghazali sebagai dasar pijakan dalam berfikir sehingga sampai kepada tujuan yang dicita-citakan. Sebagian pemikkiran dari al-Ghazali adalah pendidikan dan menurut al-Ghazali pendidikan meliputi beberapa komponen yaitu tujuan pendidikan, sebyek didik, kurikulum pendidikan, metodologi pengajaran, dan evaluasi pendidikan.
Tujuan pendidikan sebagai salah satu komponen dalam pendidikan, merupakan landasan pertama dalam proses pendidikan. Pendidikan akan berhasil jika dalam prosesnya mengarahkan kepada tujuan yang telah ditetapkan. Al-Ghazali mengatakan: “apabila engkau mengadakan penyelidikan/penalaran terhadap ilmu pengetahuan, maka engkau akan melihat kelezatan padanya, oleh karena itu tujuan mempelajari ilmu pengetahuan itu sendiri.” Sebagian pemikiran Pendidikan Sufistik Al-Ghazali tersebut masih kita gunakan. Sudah sepantasnya dunia pendidikan mengakui pemikiran al-Ghazali yang begitu hebat yang mungin dulu tidak begitu terasa manfaatnya dibandingkan sekarang ini. Alangkah hebatnya jika para pendidik muslim adalah seorang pemikir yang tentunya akan menetaskan para pemikir-pemikir hebat tanpa melupakan hakekat ilmu dan iman.
kalau belajar tentang sufi, pengetahuan q masih dangkal, jd g berani comment
ReplyDeleteYach namanya juga hidup, semuanya mesti melalui proses. Dangkal kan bukan berarti tidak bisa digali lagi. Kita sama-sama belajar dan share apa yang kita dapat dan punya. :-)
ReplyDelete