Wednesday, May 18, 2011

HOME » , , » FILSAFAT ISLAM (Sufistik Al-Ghazali)

FILSAFAT ISLAM (Sufistik Al-Ghazali)

Manusia sebagai khalifah di dunia ini adalah sebagai khalifah atau wakil Allah yang bertugas melaksanakan kehendak-Nya. Tugas manusia terbagi menjadi dua: tugas dunia dan tugas akhirat. Manusia yang mampu melaksanakan tugasnya itu adalah hamba Allah (‘abdullah) yang akan mencapai tujuan hidupnya yakni bahagia dunia akhirat karena itulah al-Ghazali mengarahkan manusia melalui pendidikan agar menjadi ahli ibadah (‘abid) yakni manusia yang mampu melaksanakan tugasnya sebagai makhluk social kepada sesama manusia, sehingga tercapailah tujuan itu. Beberapa problem pendidikan antara lain: guru yang kurang memenuhi syarat sehingga tidak dapat menjalankan tugasnya dengan baik dan kurang bertanggung jawab, murid yang tidak dapat menempatkan diri sebagai thalbul’ilm (pencari ilmu) sehingga lalai akan tugas, kewajiban dan tanggungjawabnya, kurikulum yang kurang daya keterpaduan yang integral antara aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. 

Pandangan sufistik Al-Ghazali tentang ajaran sufi dapat dikatakan sebagai bentuk filsafat pendidikan, karena esensi dari sebuah pendidikan adalah terjadinya perubahan dari kondisi jelek kearah yang lebih baik pada diri murid, orang yang belajar, yang dalam istilah tasawuf disebut sebagai murid atau salik. Demikian halnya dalam ajaran kaum sufi dimana dalam diri seorang salik harus terjadi perubahan sikap dalam hal makrifat kepada Allah (ma’rifatullah), yang merupakan tujuan akhir dalam ajaran sufi. Untuk menuju tercapainya tujuan tersebut didalamnya terdapat materi (content) yang harus dikuasai, metoe yang harus dilalui, serta guru yang harus membimbingnya dalam bidang spiritual. Pendidikan sufi yang ditawarkan al-Ghazali seperti yang tercermin dalam karya-karyanya. Model sufi ini dipilih oleh al-Ghazali sebagai jalan hidup, bukan sekedar konsep, sebab dalam diri al-Ghazali tidak ada perbedaan antara ilmu dan amal.

Pandangan al-Ghazali yang sangat terkenal adalah pandangannya tentang hakekat manusia, yang berlandaskan pada esensi manusia yaitu jiwanya yang bersifat kekal dan tidak hancur. Ada empat istilah yang sangat populer dikemukakan oleh al-Ghazali dalam pembahasannya yang begitu mendalam tentang esensi manusia, yaitu tentang hati (qalb), ruh, jiwa (nafs), dan akal (aql). Mengenai tujuan hidup manusia, al-Ghazali menyatakan bahwa: “Segala tujuan manusia itu terkumpul dalam agama dan dunia. Dan agama tidak terorganisasikan selain dengan terorganisasinya dunia. Dunia adalah tempat bercocok tanam bagi akhirat. Dunia adalah alat yang menyampaikan kepada Allah bagi orang yang mau memperbuatnya menjadi tempat tetap dan tanah air abadi.”

Dari pernyataannya dapat disimpulkan bahwa manusia memiliki dua tujuan hidup. Yang pertama adalah sebagai wakil Allah di dunia untuk melaksanakan kehendakNya atau tujuan duniawi. Yang kedua adalah tujuan akhirat, yaitu mendapatkan kenikmatan surgawi yang berpuncak saat manusia dapat bertemu Penciptanya. Dalam bidang pendidikan dan pengajaran, al-Ghazali banyak mencurahkan perhatiannya. Analisisnya terhadap esensi manusia mendasari pemikirannya pada kedua bidang ini. Menurut al-Ghazali, manusia dapat memperoleh derajat atau kedudukan yang paling terhormat di antara sekian banyak makhluk di permukaan bumi dan langit karena ilmu dan amalnya. Sesuai dengan pandangan al-Ghazali terhadap manusia dan amaliahnya, yaitu bahwa yang amaliah itu tidak akan muncul dan kemunculannya hanya akan bermakna kecuali setelah ada pengetahuan. Sehingga wajar bila dalam karyanya yang sangat monumental, Ihya Ulumiddin, al-Ghazali mengupas ilmu pengetahuan secara panjang lebar dalam sebuah bab tersendiri, Kitabul Ilmi. Dalam pembahasannya tentang ilmu, al-Ghazali menggambarkannya dalam tatanan sosial masyarakat, dalam artian bahwa sebuah ilmu atau profesi tertentu diperlukan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan yang diwajibkan dalam tatanan tersebut. Secara terperinci, ia menggunakan pendekatan epistemologi, ontologi, dan aksiologi.

Ditilik dari Ihya Ulumiddin bab pertama, al-Ghazali adalah penganut kesetaraan dalam dunia pendidikan, ia tidak membedakan kelamin penuntut ilmu, juga tidak pula dari golongan mana ia berada, selama dia islam maka hukumnya wajib. Tidak terkecuali siapapun. Ia juga termasuk penganut konsep pendidikan tabula rasa (kertas putih) dan pendidikan bisa mewarnainya dengan hal-hal yang benar. Al-Ghazali mengklasifikasikan tauhid menjadi empat tingkatan: pertama, tauhid orang yang mengatakan bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah, sementara qolbunya melalaikan makna ucapannya. Maka, ini adalah tauhid oang-orang munafik: kedua, tauhid orang yang membenarkan makna ungkapan-ungkapan syahadat tersebut, maka ini merupakan tauhid sebagian besar umat Islam, dan inilah tauhid orang awam: ketiga, tauhid orang yang menyaksikan kebenaran ungkapan tersebut secara iluminasi dengan cahayaYang Maha Benar. Ini adalah pengikut orang-orang yang dekat dengan Tuhan (al-muqorrobin). Dia melihat hal yang jamak, tapi dalam kejamakan itu justru dia melihat kesemuannya berasal dari Dzat yang Tunggal: keempat, tauhid orang yang tidak melihat dalam wujud kecuali hanya tunggal. Maka ini adalah penyaksian orang-orang yang benar (as-Siddiqin) inilah tingkatan para sufi yang disebut dengan fana’ dalam tauhid.

Materi pendidikan yang dipilih secara tepat akan dapat mencapai tujuan dan sasaran. Istilah materi (content) pendidikan adalah mengorganisir bidang ilmu pengetahuan yang menjadi basis sebuah pendidikan. Materi pendidikan harus mengacu pada pada tujuan pendidikan bukan sebaliknya, tujuan pendidikan mengarah pada suatu materi. Oleh karena itu materi pendidikan tidak berdiri sendiri terlepas dari control tujuannya. Sebelum menentukan materi tujuan harus ditetapkan terlebih dahulu, disamping itu juga harus ditetapkan criteria keberhasilan dari sebuah proses pendidikan.

Sedangkan tujuan dari pendidikan sufi adalah mencapai ma’rifatullah, maka materi yang harus diajarkan dan diamalkan para salik berkaitan dengan materi yang dapat mengantarkan manusia kepada tujuan tersebut. Al-Ghazali menawarkan tujuan pendidikan sufi yang tercermin pada konsepnya mengenai hirarki ilmu pengetahuan. Baginya ilmu yang tertinggi adalah yang dapat membawa kepada tujuan, yakni dekat dengan Allah. Al-Ghazali mengklasifikasi ilmu dalam karyanya Mizan al-‘Amal, al-Risalah al-Laduniyah, dan Ihya’ Ulum al-Din. Dalam kitab-kitab tersebut al-Ghazali meyebutkan empat system klasifikasi ilmu yang berbeda: pertama, pembagian ilmu-ilmu menjadi bagian ilmu teoritis dan praktis: kedua, pembagian pengetahuan menjadi pengetahuan yang dihadirkan (huduri) dan pengetahuan yang dicapai (husuli). pengetahuan huduri bersifaft langsung, suprarasional, intuitif dan kompletatif (ilmu laduni dan ‘ilm mukasyafah). Sedangkan husuli bersifat tidak langsung, rasional,logis dan diskursif. Yang ketiga, pembagian atas ilmu-ilmu religious (syari’ah) dan intelektual (‘aqliyah). Maksud dari syari’ah sebagai ilmu-ilmu yang diperoleh para nabi dan tidak hadir pada mereka melalui akal. Ilmu-ilmu religius ini sinonim dengan ilmu-ilmu yang ditransmisikan sedangkan ‘aqliyah, ilmu yang diperoleh atau dicapai melalui intelek manusia semata: keempat, pembagian ilmu kedalam ilmu-ilmu fardl ‘ain dan fardl kifayah.

Metode memiliki peran penting dalam tercapainya tujuan pendidikan. penggunaan metode yang tepat akan menunjang pencapaian tujuan pendidikan. sebaliknya, penggunaan metode yang tidak tepat akan menghambat proses belajar mengajar sehingga akan berakibat pada gagalnya tujuan yang telah ditetapkan. Penggunaan metode itu sendiri sangat bergantung pada situasi dan kondisi yang ada. Sehingga penggunaan metode tersebut disesuaikan pada situasi dan kondisi yang ada.

Menurut al-Ghazali untuk mencapai tujuan ma’rifatullah, harus melalui tiga tahap, yaitu via purgavita, via contemplative, via illuminative. Via purgavita merupakan segi filosofis yang berbeda, karena terdiri dari mawas diri, penguasaan segala nafsu, dan kemudian mensucikan seluruh hati hanya untuk Tuhan saja. Sebab dalam tasawuf Tuhan tidak bisa ”dimadu” dengan unsur dunia. Untuk itu seorang salik yang ingin mencapai tingkatan tertinggi harus membuang segala bentuk ikatan dengan dunia atau melenyapkan segala nafsu dan keinginan terhadap selain Tuhan. Tahap petama dikenal dengan penyucian hati (tazkiyah al-nafs) dalam pengertian tasawuf.

Menurut al-Ghazali, penyucian hati adalah syarat mutlak dalam berma’rifat kepada Allah. Ibarat wudhu yang menjadi syarat syahnya sholat. Karena begitu beratnya melakukan penyucian hati, maka tahap-tahap yang harus dilalui oleh seorang salik yang terkenal dengan maqam. Tahap-tahap tersebut, meliputi: taubat, sabar, syukur, raja’, khauf, zuhud, tawakkkal, mahabbah, uns, ‘isyq, dan ridho. Via contemplative (meditasi) yaitu memusatkan seluruh kesadaran dalam merenungkan keindahan “wajah” Tuhan dengan penuh kerinduan. Dalam tasawuf disertai dengan dzikir secara terus menerus dengan bacaan keras maupun dalam hati. pada tahapan kedua dalam pencapaian ma’rifatullah ini biasa dilakukan oleh orang awam karena sifatnya yang praktis. Sedangkan tahapan pertama tadi, via purgavita hanya bias dicapai dan dilakukan oleh orang-orang yang khawas atau elit secara spiritual karena lebih bersifat filosofis

Via illuminative yaitu sutu proses terbukanya tabir penyekat alam ghaib atau proses dapatnya penerangan dari nur ghaib sebagai hasil dari menjalankan tahap yang kedua yakni dzikir. Dalam tasawuf penerimaan nur ghaib adalah sebuah anugrah Tuhan, atau hak prerogative Tuhan, diluar kehendak manusia. Seluruh perhatian yang terpusat kealam batin sehingga kesadaran terhadap luar menjadi fana’ dan inilah yang dinamakan ectasy dalam pengertian tasawuf. Sedangkan fana’ tersebut akan bertahap dan memuncak pada penghayatan ma’rifatullah yang merupakan tujuan tertinggi dalam ajaran sufi.

Via purgavita, via contemplative, via illuminative merupakan metode yang harus dilewati oleh setiap sufi yang ingin mencapai ma’rifatullah. Obyeknya adalah qolb. Oleh karena itu tujuan utama menjalankan metode tersebut sebagai upaya dalam membersihkan hati dari berbagai kotoran atau unsur selain Tuhan. Menurut al-Ghazali, barangsiapa mengetahui hatinya maka dia mengetahui dirinya, dan barangsiapa mengetahui dirinya maka ia mengetahui Tuhannya.

Peranan akal pikiran sangat penting dalam ilmu sufiah, sehingga pada hakekatnya ilmu sufiah menurut al-ghazali adalah pendalaman amalan akal pikiran untuk mencapa ilmu-ilmu yang jenih dan bersih dari campuran alam dria, yakni menghendaki seseorang melepaskan diri dai dunia dria, dan tenggelam dalam batin manusia seta lepas dari alam dria tersebut. Pada model pendidikan sufi al-Ghazli ini memiliki implikasi sangat besar terhadap dunia Islam, khususnya pendidikan Islam. Pertama, al-Ghazali dianggap sebagai mistikus murni yang meluruskan ajaran sufi yang telah disalah gunakan oleh pendahulunya. Al-Ghazali mendasarkan ajarannya pada summber al-qur’an dan al-sunnah sehingga tasawuf diterima dikalangan fuqaha’ yang sebelumnya mencurigai dan menentangnya. Kedua, ajaran tasawuf al-Ghazali berdampak pada menuurunnya etos kerja dan ilmuan umat islam. Karena hukum kausalitsa tidak diterima oleh imam al-Ghozali. Karena al-Ghazali beranggapan bahwa pencarian ilmu duniawi tidak banyak manfaatnya dari pada ilmu agama. Yang ketiga, pemikiran al-Ghazali mengenai pendidikan dapat dijadikan solusi alternative dalam mengatasi krisis yang dialami dunia pendidikan dewasa ini yang cenderung menekankan aspek kognitif. Karena al-Ghazali menekankan pentingnya penggemblengan hati dan perasaan dan al-Ghazali lebih menekankan aspek afektif dari pada kognitif. sampai disini dulu Filsafat pendidikan Islam (sufistik Al-Ghazali)





Artikel Terkait LAH:

2 comments:

  1. sip nih nambah khasanah pengetahuan saya lagi, sekalian saya follow link juga dah tak pasang di update my friend blog

    ReplyDelete
  2. Sama-sama kawan semoga berguna. Trims kawan dah add balik.

    ReplyDelete

Salam Ukhuwah, setelah baca tulisan Insan Cita Kom. LAH jangan lupa tinggal jejak dengan berkomentar di bawah ini yah kawan. YAKISA, Yakin Usaha Sampai.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...